Faktafakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam kerajaan antara lain: Terlihat pada bangunan Candi Jawi di Jawa Timur di mana atapnya berbentuk stupa atau genta sebagai penanda bangunan suci agama Budha sedangkan di halaman candi pernah ditemukan arca-arca yang mewakili agama Hindu seperti Durga, Siwa, Ganesa, Mahakala, dan Karyasastra ini mempunyai beberapa bait yang berisi tentang toleransi beragama pada masa itu, mengingat masa Kerajaan Majapahit terdapat perbedaan agama antara Buddha dan Siwa. Fakta-Fakta Menarik Bhinneka Tunggal Ika. Adanya toleransi yang sangat besar merupakan ciri khas dari Bhinneka tunggal ika, sehingga semboyan ini juga memiliki Pada1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota.Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Mayoritaspenduduk Indonesia beragama Islam dan menjadi negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, dengan jumlah 86,7% yang beragama Islam, 7,6% Kristen Protestan, 3,12% Kristen Katolik, 1,74% Hindu, 0,77% Buddha, 0,03% Konghucu, dan 0,04% agama lainnya. Bebagai macam perbedaan, baik suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat ToleransiAntarumat Beragama pada Masa Kerajaan Majapahit. Candi Brahu di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, ditutup untuk umum sejak 21 Juni 2021 hingga 2 Juli 2021. Salah satu jejak arkeologis peninggalan Kerajaan Majapahit itu ditutup untuk umum guna mengantisipasi penyebaran Covid-19. REFORMULASIKEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA DALAM SISTEM NEGARA HUKUM PANCASILA (Kritik Terhadap Liberalisasi Konstitusi dan Pemberian Solusi Konseptual. by Subagyo MH. Download Free PDF Download PDF Download Free PDF View PDF. Filsafat Pancasila : Relevansinya dengan HAM. . Mahasiswa/Alumni Universitas Negeri Yogyakarta02 Maret 2022 1036Halo Rahmat S. Kakak bantu jawab ya Tiga fakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam kerajaan adalah Rakai Panangkaran Hindu memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi, Rakai Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha komunitas Buddha, serta posisi Candi Borobudur yang dikelilingi oleh candi-candi Hindu seperti Selogriyo, Gunung Wukir, Gunung Sari, dan Sengi. Berikut penjelasannya ya. Dalam soal agama, raja-raja di Pulau Jawa terkenal memiliki sikap yang toleransi. Hal ini dikarenakan terlihat dari adanya berbagai aliran agama serta suku bangsa hidup berdampingan dengan damai serta bebas mendirikan rumah-rumah ibadat serta tempat pemujaan candi. Misalnya terlihat dalam Kerajaan Mataram Kuno. Menurut Prasasti Kalasan 778, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi dengan menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha komunitas Buddha, untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara. Soekmono berpendapat bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Begitu juga dalam pembangunan Candi Borobudur masa pemerintahan Raja Samaratungga 824 M yang melibatkan para pemeluk agama hindu di wilayah kedu. Dengan melihat posisi Candi Borobudur yang dikelilingi oleh candi-candi Hindu seperti Selogriyo, Gunung Wukir, Gunung Sari, dan Sengi. Semoga bermanfaatŸ˜Š - Sejarah peradaban Nusantara tidak dapat dilepaskan dari riwayat Kerajaan Majapahit. Kemaharajaan Majapahit adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang meninggalkan cukup banyak situs candi atau bangunan suci untuk kepentingan Kitab Negarakertagama seperti yang diterjemahkan oleh Theodore Gauthier Pigeaud dalam “Java in the 14th Century, A Study in Cultural History The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit 1365 AD” 1962, kekuasaan Majapahit terbentang dari Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur. Berdiri pada 1293, Kerajaan Majapahit merengkuh masa kejayaan pada era pemerintahan Hayam Wuruk 1350-1389 dengan didampingi Mahapatih Gajah Mada. Sepeninggal dua pemimpin ini, Majapahit mulai mengalami kemunduran dan akhirnya musnah pada 1478 akibat serangan dari Kesultanan di Kerajaan Majapahit Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1991 menyebutkan bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Mayoritas penduduk Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah amat luas di Nusantara memeluk agama Hindu, Buddha, atau ajaran Siwa-Buddha, meskipun ada pula yang masih menganut kepercayaan leluhur yakni Kejawen atau Animisme. Ajaran Siwa-Buddha merupakan sinkretisme atau percampuran dari agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Di era Majapahit, ajaran yang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno ini berpadu menjadi satu. Hasil penelitian Hariani Santiko berjudul “Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit” yang terhimpun dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi AMERTA Vol. 30, No. 2, Desember 2012, mengungkapkan, Majapahit banyak meninggalkan bangunan suci lainnya yang merupakan sisa sarana ritual keagamaan. Di samping candi, terdapat pula pemandian suci patirthan dan gua-gua pertapaan, serta beberapa pintu gerbang. Candi-candi pada masa Majapahit kebanyakan bersifat agama Śiwa Hindu dan ada pula beberapa candi yang bercorak Buddha. Sifat keagamaan bangunan-bangunan suci ini dapat ketahui dari ciri-ciri arsitektural, jenis arca yang ditinggalkan, serta dukungan bukti data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakertagama, Kakawin Sutasoma, Kakawin Arjunawiwaha, Pararaton, dan beberapa keterangan yang didapat dari juga Sejarah Kerajaan Kristen Larantuka & Kaitannya dengan Majapahit Sejarah Hidup Gajah Mada, Mahapatih Majapahit, & Isi Sumpah Palapa Sejarah Hidup Hayam Wuruk Fakta Raja Majapahit & Masa Kejayaan Toleransi Agama di Majapahit Hery Santosa dalam riset bertajuk “Fungsi Agama dalam Pemerintahan pada Masa Kejayaan Majapahit” menuliskan bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat Majapahit juga diwarnai oleh hal-hal yang bersifat keagamaan. Agama memiliki fungsi dan peran sebagai pengendali jarak sosial, pemberi fenomena integrasi dan menumbuhkan rasa toleransi antar warga. Kerajaan memberi pengakuan dan kesempatan yang sama terhadap tokoh-tokoh agama untuk duduk dalam pemerintahan. Adanya satu bangunan suci candi yang memiliki dua atau lebih sifat keagamaan, merupakan bukti dari integrasi sosial dan toleransi dalam bidang agama. Bukan hanya bagi pemeluk Hindu atau Buddha, melainkan juga umat muslim karena penganut agama Islam sudah ada di zaman Majapahit sejak era Hayam Wuruk diduga sudah ada yang memeluk Islam. Hal tersebut diperkuat dengan ditemukannya pemakaman muslim di Desa Tralaya, Trowulan, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan di pemakaman Islam tersebut ada yang menunjukkan angka tahun 1203 Saka atau 1281 Masehi. Selain itu, tulis Dukut Imam Widodo dalam Sidoardjo Tempo Doeloe 2013, terdapat nisan yang tergurat angka 1533 Saka atau 1611 seiring semakin menguatnya pengaruh Islam dan kemunculan Kesultanan Demak, kejayaan Majapahit dan pamor Hindu-Buddha pun kian meluruh. Hingga akhirnya, Kemaharajaan Majapahit mengalami keruntuhan abad ke-16 juga Sejarah Singkat Majapahit, Pusat Kerajaan, & Silsilah Raja-Raja Sejarah Perang Paregreg Awal Runtuhnya Kerajaan Majapahit Sejarah Perang Bubat Majapahit vs Sunda Penyebab, Lokasi, Dampak Candi-Candi Peninggalan Majapahit Cukup banyak candi peninggalan dari masa Kerajaan Majapahit, baik candi yang bercorak Hindu maupun Buddha, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut Candi Tikus Candi Sukuh Candi Bajang Ratu Candi Wringin Lawang Candi Jabung Candi Brahu Candi Pari Candi Surawana Candi Wringin Branjang Candi Minak Jinggo Candi Rimbi Candi Kedaton Desa Ngetos Baca juga Sejarah Keruntuhan Kerajaan Majapahit & Prasasti Peninggalannya Sejarah Majapahit Penyebab Runtuhnya Kerajaan & Daftar Raja-Raja Sejarah Kerajaan Majapahit Kekuatan Militer dan Persenjataan - Sosial Budaya Penulis Iswara N RadityaEditor Agung DH Mahasiswa/Alumni UIN Sunan Gunung Djati23 April 2022 1030Hai Agung S, kakak bantu jawab ya. Bukti toleransi beragama yaitu dibangunnya candi Buddha di antara candi Hindu, adanya pernikahan antara Rakai Pikatan dan Pramodawardhani serta kalimat bhineka tunggal ika dalam kitab Sutasoma. Yuk pahami penjelasannya. Budaya toleransi beragama telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu, bahkan sejak masa Kerajaan Hindu Buddha. Toleransi tersebut ditunjukkan dengan adanya kerukunan umat beragama Hindu dan beragama Buddha. Beberapa bukti adanya kerukunan umat beragama pada masa Kerajaan Hindu Buddha di Indonesia diantaranya adalah 1. Dibangunnya candi Buddha, Borobudur di tengah candi-candi Hindu. Pembangunan candi Buddha, Borobudur, dibangun oleh dinasti Sylendra pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Meski di sekitar kerajaan Mataram Kuno banyak candi-candi Hindu peninggalan dinasti Sanjaya yang beragama Hindu, namun Raja Samaratungga yang beragama Buddha tidak menghilangkan candi Hindu yang telah berdiri dan tetap mendirikan candi Borobudur berdampingan dengan candi-candi Hindu. 2. Pernikahan antara Rakai Pikatan dan Pramodawardhani Salah satu bukit lain adanya toleransi dan kerukunan antar umat beragama adalah adanya pernikahan antara Rakai Pikatan yang memeluk agama Hindu Siwa dengan Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana pada Kerajaan Mataram Kuno. 3. Adanya kalimat bhineka tunggal ika dalam kitab Sutasoma. Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma menceritakan mengenai adanya kerukunan umat beragama Hindu dan Buddha pada masa Kerajaan Majapahit. Kerukunan tersebut disebutkan dalam kalimat "bhineka tunggal ika" yang berarti meski berbeda agama namun tetap satu jua. Jadi, tiga fakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam kerajaan diantaranya adalah dibangunnya candi Buddha di antara candi Hindu, adanya pernikahan antara Rakai Pikatan dan Pramodawardhani serta kalimat bhineka tunggal ika dalam kitab Sutasoma. Semoga membantu yaa... - Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada sekitar abad ke-8 hingga abad ke-11. Kerajaan bercorak Hindu-Buddha ini sempat beberapa kali mengalami perpindahan pusat pemerintahan, dari Jawa Tengah hingga akhirnya ke Jawa Timur. Ketika di Jawa Tengah, Mataram Kuno diperintah oleh dua dinasti berbeda, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti pada periode Jawa Timur, yang lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Medang, diperintah oleh Dinasti Isyana. Meski bercorak Hindu-Buddha, masyarakat Mataram Kuno tetap memegang teguh toleransi antarumat beragama. Berikut ini bukti adanya toleransi antaraumat beragama di Kerajaan Mataram juga Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno Perkawinan beda agama Dinasti-dinasti yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno mempunyai perbedaan yang sangat mencolok, di mana Dinasti Sanjaya bercorak Hindu, sedangkan Dinasti Syailendra bercorak Buddha. Kekuasaan Mataram Kuno pertama kali dipegang oleh Raja Sanjaya, dibuktikan dengan Prasasti Canggal. Raja Sanjaya dikenal sebagai raja yang bijaksana, cakap, adil, dan taat dalam beragama. Di bawah pemerintahannya, kerajaan ini mejadi pusat pembelajaran agama Hindu, dibuktikan dengan banyaknya pendeta yang berkunjung dan menetap di Mataram. Memasuki 2022, muncul berbagai peristiwa yang semakin menunjukkan rapuhnya relasi beragama di Indonesia. Kita mendengar kabar penendangan sesajen di Gunung Semeru, Jawa Timur, pelarangan perayaan Natal oleh warga di Lampung, hingga penolakan pembangunan tempat ibadah umat minoritas seperti pura di Bekasi dan gereja di Surabaya yang butuh satu dekade lebih untuk mendapat titik terang. Sepanjang 2020, Setara Institute juga mencatat setidaknya 180 peristiwa dan 424 pelanggaran kebebasan berkeyakinan di seluruh Indonesia. Padahal, negara selama ini kerap menggaungkan ampuhnya pendekatan “multikulturalisme” – yakni penghormatan dan akomodasi atas kebutuhan dan ekspresi beragama umat minoritas. Mengapa pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan terus-terusan terjadi? Dalam riset saya, saya berargumen bahwa selain lemahnya instrumen perlindungan hak asasi manusia HAM di Indonesia, pendekatan multikulturalisme secara sosial juga belum mampu mendukung kerukunan beragama. Kelompok minoritas selama ini sebatas mendapat akomodasi untuk mengekspresikan identitas keagamannya; ini belum cukup. Indonesia perlu beralih pada pendekatan sosial baru yang mampu mendorong relasi beragama yang lebih terhubung, terikat, dan saling memahami perbedaan. Kegagalan multikulturalisme Multikulturalisme adalah langkah politik akomodasi yang dilakukan negara dan/atau kelompok mayoritas bagi ekspresi budaya minoritas – entah ras, etnisitas, kewarganegaraan, atau agama. Misalnya, mereka mendapat dukungan atas keyakinan dan kebiasaan kelompok tersebut yang berbeda dari kelompok mayoritas. Negara juga menyesuaikan perangkat hukum dan aturan yang ada sehingga warga minoritas dapat tetap mengekspresikan identitas budaya mereka. Sekilas, multikulturalisme memang terdengar sebagai pendekatan yang ideal digunakan untuk mengelola keberagaman. Namun, ada hal yang masih terlewat dalam pendekatan ini. Menurut para ahli, multikulturalisme hanya fokus memenuhi hak kultural dari kelompok-kelompok yang ada tanpa membangun keterhubungan dan keterikatan interconnectedness di antara mereka. Ini menciptakan “sangkar budaya” cultural aviaries – suatu kelompok agama hanya akan berkumpul dengan sesamanya sekaligus menghindari konflik dengan kelompok berbeda. Pada akhirnya, ini memunculkan fragmentasi sosial dan keterpisahan antara kelompok minoritas dan mayoritas minority separateness. Ini sangat terlihat dalam konflik pendirian tempat ibadah yang banyak dialami umat minoritas di Indonesia. Secara prinsip, tak ada larangan bagi umat minoritas untuk membangun tempat ibadah. Tapi, ada syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur di Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/8 Tahun 2006, yakni adanya dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang. Ini adalah contoh aturan dengan semangat multikulturalisme – umat minoritas diberi jalan untuk membangun tempat ibadah. Sayangnya, syarat dukungan warga sekitar berarti bahwa pembangunan tempat ibadah suatu umat seringkali hanya berjalan lancar jika dilakukan di lingkungan yang dipenuhi sesama umat agama tersebut. Sejumlah jemaat dihalangi petugas saat akan melakukan kebaktian di depan Gereja Kristen Indonesia GKI Yasmin. Pembangunan gereja tersebut mandek dalam ketidakjelasan selama 15 tahun karena dianggap menyalahi IMB dan adanya penolakan dari masyarakat. ANTARA FOTO Di sini, setiap kelompok seakan mendapat hak-haknya, selama berada dalam “wilayah kultural” masing-masing dan tidak terjadi “saling senggol”. Ini tidak sejalan dengan hak kebebasan beragama dan hak kultural lainnya yang bersifat penuh dan seluas-luasnya. Umat beragama harusnya bisa bebas beribadah di mana pun, meski mereka adalah umat minoritas di tengah lingkungan umat mayoritas. Tanpa keterhubungan dan keterikatan antara para kelompok, resistensi dan penolakan antar kelompok akan terus ada dan tidak akan pernah tergerus – seperti kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang.” Resistensi ini kemudian menjadi semakin berbahaya dan dapat berkembang menjadi kekerasan jika di antara para kelompok tersebut ada “covert animosity” atau rasa memusuhi yang disembunyikan. Hasil studi yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia LSI dan Wahid Foundation sekitar 5 tahun lalu, misalnya, menemukan bahwa 59,9% dari responden di 34 provinsi mengaku memiliki kebencian terhadap kelompok masyarakat yang berbeda, khususnya pada non-Muslim, etnis Tionghoa, komunis, dan sebagainya. Read more Obsesi Indonesia untuk menjaga ketertiban sosial menjadi penghalang perlakuan setara terhadap pemeluk agama minoritas Interkulturalisme arah baru relasi beragama Atas dasar tersebut, kita perlu menggunakan pendekatan baru yang tak hanya mengakomodasi kelompok minoritas, tapi juga membangun keterhubungan di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Hal ini terjawab oleh pendekatan “interkulturalisme”. Pendekatan interkulturalisme tidak hanya mengakomodasi perbedaan tapi juga menjembataninya. Sehingga, antara mereka yang berbeda dapat saling terkoneksi dan saling menyatu menjadi masyarakat yang kohesif. Pada praktiknya, prinsip tersebut dapat berwujud kebijakan yang mendorong inter-dialog, keterhubungan, dan keterikatan antara berbagai kelompok yang berbeda. Harapannya, ini dapat menghilangkan segala kondisi yang bisa memunculkan segregasi sosial. Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, melalui kurikulum sekolah yang memfasilitasi terbangunnya inter-dialog dan pemahaman bersama antar kelompok agama yang berbeda, atau melalui penetapan kuota tertentu yang menjamin kemajemukan suatu populasi – baik di sekolah, perkantoran, atau pemukiman. Pendekatan interkulturalisme dapat berwujud kurikulum sekolah yang inklusif serta mendorong dialog dan keterikatan antar kelompok beragama. ANTARA FOTO Singapura melakukan ini melalui Ethnic Integration Policy yang menetapkan kuota minimal untuk etnis minoritas dalam setiap area pemukiman. Kebijakan ini sudah berjalan sejak 1989. Selain itu, alih-alih menetapkan syarat yang bisa mempersulit rencana pendirian tempat ibadah, pemerintah justru harus mendorong terbangunnya fasilitas peribadatan dari berbagai kelompok agama di setiap lingkungan masyarakat – apa pun agama mayoritas di wilayah tersebut. Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, dengan menghilangkan syarat dukungan dari masyarakat sekitar seperti yang terdapat di aturan yang berlaku saat ini. Pada intinya, melalui pendekatan interkulturalisme, masyarakat didorong untuk tidak sekadar sadar atau “mengizinkan” adanya keberagaman. Jika negara serius ingin menjadikan tahun 2022 sebagai “Tahun Toleransi”, serta menjadikan Indonesia sebagai kiblat kerukunan beragama di dunia, masyarakat harus didorong untuk hidup di dalam keberagaman tersebut dan menjadikan keberagaman yang ada sebagai bagian dari diri kita masing-masing. Hanya dengan begitu kita dapat menjadikan bhinneka tunggal ika tidak hanya sebagai motto kosong atau mantra toleransi yang hanya di level permukaan, tapi benar-benar sebagai napas hidup. Bahwa kita memang berbeda, tapi perbedaan itu terajut, terkoneksi, dan menyatu di antara kita.

fakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam kerajaan