KetaatanMasyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspekti Filsafat Hukum Sefriani Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta sefri_ani@ Kata kunci: Ketaatan, hukum internasional, filsafat hukum. 406 JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 18 JULI 2011: 405 - 427
Jawabanpenting marena Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku merupakan konsep nyata dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Tingkat kepatuhan hukum yang diperlihatkan oleh seorang warga negara, secara langsung menunjukkan tingkat kesadaran hukum yang dimilikinya.
Kitamerayakan Hari Raya 'Idul Adha bersama-sama sebagai umat Islam. Bukan sebagai bangsa Arab, Afrika, Eropa, Amerika, Australia maupun Asia. Kita merayakan hari agung yang suci ini sebagai satu umat. Kita diikat oleh akidah yang sama. Kita pun diatur dengan hukum yang sama. Sayang, kesatuan sebagai umat ini hanya sesaat.
KetaatanMasyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspekti Filsafat Hukum Seth-iam Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Tamanslswa No. 158 Yogyakarta sefri ani@y The research is aimed to figure out whether the International Law is a genuine law This concerns with
Pesertadidik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan SKB ini sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh. Munculnya SKB ini dipicu oleh kasus pewajiban siswa non-muslim untuk memakai jilbab di salah satu sekolah negeri di Kota Padang
SebabKita Harus Taat Hukum. Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik. Hukum adalah suatu kaidah, norma ataupun aturan yang dibuat oleh penguasa yang bersifat tertulis ataupun tidak tertulis yang disertai sanksi guna melindungi serta memberikan rasa keadilan demi terciptanya tata tertib serta kedamaian dalam kehidupan masyarakat dalam suatu
. Hukum Perdata Oleh bitarDiposting pada Juni 3, 2020Mei 17, 2021 – di indonesia mempunyai hukum untuk mengatur prilaku warga negara di indonesia, antara lain hukum pidana, hukum perdata, hukum negara, dan hukum agama. disini akan menjelaskan tentang hukum perdata. […]
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Agama tidak hanya belajar tentang kitab suci. Agama juga tidak hanya sebatas mengenal surga dan negara. Namun dalam agama juga diajarkan tentang bagaimana membentuk kesalahen individual dan sosial. Bagaimana kita harus bisa menghargai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Bagaimana kita harus bisa saling berinteraksi dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa mempersoalkan apa latar juga mengajarkan nilai-nilai toleransi, yang harus merangkul semua orang, berdampingana dengan perbedaan. Untuk itulah, jika ada seseorang yang mengklaim dirinya seorang yang religius, seorang yang paham agama, tentu saja segala bentuk ucapan dan perilakunya akan lebih terjaga. Tidak pernah menjelekkan, tidak pernah menebar kebencian, tidak pernah melakukan provokasi atau tindakan intoleran yang dipungkiri, kemajuan teknologi ini telah melahirkan tokoh-tokoh baru yang mengklaim dirinya memahami agama. Banyak tokoh agama yang tenar karena media sosial. Namun tidak sedikit pula tokoh agama kampung, yang memilih untuk tidak terkenal, dan mamanfaatkan waktunya untuk kepentingan yang lebih positif. Para tokoh ini tak jarang juga mengeluarkan statemen yang bisa memancing amarah public, dan tidak bisa memberikan arahan kepada para simpatisannya. Padahal, dalam agama diajarkan untuk saling menghargai dan menghormati. Dalam agama juga dianjurkan untuk mentaati aturan hukum yang berlaku. Namun pada kenyataannya, ada beberapa oknum yang justru melakukan pembangkangan. Karena merasa benar, mereka melawan aturan hukum dan terus mengeluarkan statemen yang bisa memicu kebencian. Hal semacam ini harus terus diwaspadai. Terlebih bibit intoleransi dan radikalisme juga bisa berpotensi menyusup di dalam provokasi tersebut. Tidak sedikit dari orang-orang tersebut yang terus berlindung dibalik nilai-nilai agama, untuk menutupi perilakunya yang salah tersebut. Masyarakat harus jeli dan obyektif. Jangan mudah terpengaruh oleh pernyataan pernyataan yang menyudutkan siapapun. Jangan mudah percaya informasi yang muncul, sebelum melakukan cek dan ricek. Jika memang mereka terbukti salah, tak perlu juga untuk saling hujat. Ingat, jika kita memang mengklaim diri sebagai pribadi yang taat agama, semestinya kita bisa mengedepankan perilaku yang sejuk, yang mengedepankan cinta kasih. Agama memang harus dibela. Namun juga harus sesuai dengan spirit usah menjelekkan orang lain karena dianggap salah. Tak usah pula mengkafirkan orang lain karena berbeda keyakinan atau latar belakang. Ingat, kita semua sudah berbeda sejak dari lahir. Negara ini pun juga berisi dengan berbagai macam keragaman suku, budaya, agama dan bahasa. Tak perlu menyatakan yang ini paling benar, yang itu paling salah. Biarlah urusan Allah yang menyatakan si A sesat atau tidak. Namun, dalam konteks bernegara, jangan menyalahkan hukum jika memang hukum telah bertindak secara benar. Terkadang banyak orang yang menyalahkan pemerintah dan hukum, lalu memprovokasi orang untuk melakukan pengerahan semua negara saat ini masih menjalani masa pandemi covid-19. Lebih baik kita berkonsentrasi untuk menjaga jarak, menjaga kesehatan agar penyebaran pandemi bisa dikendalikan. Kontrol juga pernyataan-pernyataan yang tidak perlu. Dan bagi seseorang yang punya pengikut banyak, mari saling mengingatkan untuk terus membekali diri dengan literasi, untuk tidak mudah terprovokasi. Kita adalah negara hukum. Mematuhi hukum juga diajarkan oleh agama. Karena itu, mari kita saling sinergi agar apa yang kita inginkan bisa terwujud di negeri ini. Salam damai. Lihat Humaniora Selengkapnya
Oleh Haidir Ali Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Negara merupakan organisasi kekuasaan yang mengatur hubungan hukum setiap warga negara. Hubungan hukum adalah interaksi yang timbul dengan gesekan kepentingan, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban di antara manusia. Hak dan kewajiban ini harus dilaksanakan oleh salah satu pihak, di mana pihak yang satu melaksanakan kewajiban dan pihak lainnya menerima haknya. Begitupun sebaliknya, pihak yang satu menerima haknya dan pihak lainnya harus melaksanakan kewajiban. Hukum merupakan sebuah instrumen yang diperlukan bagi setiap negara. Dibentuk dengan kesepakatan antara pemerintah dengan lembaga legislatif yang disebut DPR Dewan Perwakilan rakyat. Persenggamaan kepentingan antara pemerintah dan DPR dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang merupakan hukum yang wajib dan patut untuk ditaati serta dilaksanakan oleh warga negaranya. Ketaatan warga negara tidak bisa terlepas dari sumbangsih pemerintah untuk mensosialisasikan hukum yang telah dilegalisasi. Keberlakuan hukum dalam negara berbanding lurus dengan sikap masyarakat terhadapnya. Sikap ini dapat dikaitkan dengan ketaatan masyarakat terhadap hukum. Kelman mengatakan bahwa terdapat 3 jenis ketaatan hukum, yaitu ketaatan yang bersifat compliance, identification, dan internalization. Ketaatan compliance yaitu seseorang taat terhadap hukum karena takut akan sanksi yang akan dijatuhkan kepadanya. kelemahan ketaatan jenis ini karena membutuhkan pengawasan secara terus-menerus. Ketaatan identification merupakan ketaatan karena takut hubungan baiknya rusak karena perilaku pelanggaran yang dia lakukan. Sedangkan ketaatan internalization yaitu seorang taat karena betul-betul sesuai dengan nilai intrinsik atau pola pikir yang dianutnya. Dari ketiga jenis ketaatan di atas, yang merupakan ketaatan yang paling buruk adalah ketaatan compliance sedangkan yang paling baik dan patut untuk dicontoh adalah ketaatan dengan tingkatan internalization. Di dalam realitasnya, berdasarkan konsep Kelman, seseorang dapat menaati aturan hukum, karena ketaatan salah satu jenis saja, sepeti seseorang taat hanya dengan tingkatan compliance, tidak dengan ketaatan identification atau internalization. Juga dapat terjadi, seseorang menaati suatu aturan, berdasarkan dua atau bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus. Selain karena aturan itu memang cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya, sekaligus dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan dengan pihak lain. Kataatan tingkatan compliance merupakan ketaatan yang dipraktekkan di Indonesia. Seorang menaati atau tidak menaati hukum karena takut dikenakan sanksi. Ketaatan hukum jenis ini merupakan ketaatan dengan jenis atau tingkatan yang sangat rendah. Dikatakan tingkatan sangat rendah karena orang hanya taat aturan jika ada penegak hukum polisi yang mengawasi. Sebagai contoh dapat kita temukan banyaknya pelanggaran lampu rambu lalu lintas di jalan karena ketiadaan polisi mengawasi. Namun jika polisi hadir dan turut mengatur arus rambu lalu lintas maka disini masyarakat seakan patuh dan taat terhadap hukum. Ketaatan masyarakat bukan berasal dari hati nurani sebagaimana ketaatan internalization, akan tetapi ketaatan hanya sebatas karena takut dikenakan sanksi. Ketaatan dengan tingkatan internalization sejak lama dipraktekkan oleh Jepang. Masyarakat merasa malu dan bersalah jika melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum. Mereka senantiasa menaati hukum walaupun tidak diawasi oleh polisi. Bukanlah pemandangan mewah melihat mereka tetap menunggu lampu hijau walapun tidak ada kendaraan yang sedang melintas. Sikap malu dan bersalah masyarakat merealisasikan prinsip supremasi moral dalam penegakan hukum. Walaupun Jepang bukanlah negara agamis namun mereka senantiasa menjaga dan merealisasikan prinsip moral yang merupakan pencerminan dari agama kitab suci. Berbeda dengan negara Indonesia, dimana masyarakatnya agamis, namun sikapnya tidak mencerminkan nilai-nilai agama yang dianutnya dan senantiasa melakukan pelanggaran dan kejahatan jika tidak sedang diawasi. Rendahnya ketaatan masyarakat indonesia tidak terlepas dari kinerja pemerintah. Pemerintah sebagai representasi negara seharusnya memberikan pencerdasan hukum kepada masyarakat. Pencerdasan hukum diberikan melalui pendidikan atau sosialisasi terkait keberlakuan hukum atau undang-undang. Dengan pendidikan atau sosialisasi tersebut, diharapkan mengubah pola pikir atau perilaku masyarakat yang sebelumnya taat karena takut akan sanksi compliance menjadi taat aturan karena sesuai dengan nilai intrinsik atau pola pikirnya internalization. Perubahan pola pikir masyarakat sesuai dengan fungsi hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat, dari tidak taat menjadi taat. Pendidikan hukum hanya dinikmati kaum mahasiswa dengan konsentrasi keilmuwan hukum. Pendidikan hukum sudah seharusnya diberikan kepada masyarakat luas. Dengan pendidikan hukum, diharapkan menjadi wadah ataupun alat pencerdasan. Hal ini karena objek dari keberlakuan hukum itu adalah masyarakat dan asas hukum menyatakan bahwa setiap orang dianggap tahu akan hukum . Efektif atau tidaknya hukum tidak terlepas dari banyaknya masyarakat yang tahu dan taat. Jika kebanyakan masyarakat taat aturan dengan ketaatan internalization, maka dapat dikatakan bahwa hukum itu efektif. Sosialisasi yang dilaksanakan pemerintah pun hanya sebatas di gedung mewah berkapasitas maksimal 50 orang. Dilakukan hanya menghadirkan kaum yang sudah tercerdaskan seperti mahasiswa dan kaum intelek lainnya. Seharusnya pemerintah mengadakan sosialisasi dengan melibatkan semua masyarakat yang belum mengetahui akan adanya aturan, sehingga mereka akan segera sadar dan taat akan hukum. Namun sayang, kinerja pemerintah masih sangat minim dan seakan hanya digunakan sebagai proyek akhir tahun guna menghabiskan dan menghamburkan anggaran rakyat. Pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya seharusnya bisa dan mampu mengelola proses pemerintahan demi kesejahteraan rakyat. Proses ini melibatkan kinerja pemerintah dalam membuat dan mensosialisasikan hukum dan penegakan hukum yang baik. Hukum dan penegakan hukum merupakan 2 hal yang saling berkaitan layaknya sebuah koin yang masing-masing berada disisi yang berbeda namun dalam wadah yang sama. Hukum sebaik bagaimanapun jika penegaknya buruk, maka hukum itu akan ikut menajadi buruk. Sebaliknya walaupun penegak hukumnya baik, jika hukumnya buruk, maka membuat hukum itu menjadi buruk. Hukum dan penegakan hukum yang baik akan membawa kepada kesejahteraan. Masyarakat akan merasa aman dan tenteram jika berhadapan dengan hukum melalui interaksi yang mereka lakukan. Sehingga akan membuat Indonesia betul-betul menjadi sebuah negara hukum, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi Pasal 1 Ayat 3 yang menyatakan, Indonesia adalah negara hukum rechtstaat bukan negara kekuasaan machtstaat.
Utrecht mengatakan bahwa pada umumnya orang mentaati hukum karena bermacam-macam sebab yaitu a. Karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum. b. Supaya ada rasa ketentraman. d. Karena adanya paksaan sanksi sosial. Beberapa teori dan aliran yang menyebabkan hukum ditaati orang A. Mazhab Hukum Alam atau Hukum Kodrat Mazhab hukum Alam adalah suatu aliran yang menelaah hukum dengan bertitik tolak dari keadilan yang mutlak artinya bahwa keadilan tidak boleh digangggu. Hukum Alam adalah hukum yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut 1. Terlepas dari kehendak manusia, atau tidak bergantung pada pandangan manusia. 2. Berlaku tidak mengenal batas waktu, artinya berlaku kapan saja. 3. Bersifat universal artinya berlaku bagi semua orang. 4. Berlaku di semua tempat atau berlaku dimana saja tidak mengenal batas tempat. 5. Bersifat jelas bagi manusia. Adapun ajaran hukum alam ini meliputi - Ajaran hukum alam Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa ada dua macam hukum yaitu Hukum yang berlaku karena penetapan penguasa negara dan Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia. Hukum yang kedua ini adalah hukum alam yaitu hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia akan tetapi berlaku untuk semua manusia, kapan saja dan dimanapun dia berada. - Ajaran hukum alam Thomas Aquino Thomas Aquino berpandangan bahwa alam itu ada ,yaitu dalam hukum abadi yang merupakan rasio Ketuhanan Lex Aeterna yang menguasai seluruh dunia sebagai dasar atau landasan bagi timbulnya segala undang-undang atau berbagai peraturan hukum lainnya dan memberikan kekuatan mengikat pada masing-masing peraturan hukum tersebut. - Ajaran hukum alam Hugo de Groot Grotius Hugo de Groot berpendapat bahwa hukum alam bersumber dari akal manusia. Hukum kodrat adalah pembawaan dari setiap manusia dan merupakan hasil perimbangan dari akal manusia itu sendiri, karena dengan menggunakan akalnya manusia dapat memahami apa yang adil dan apa yang tidak adil, mana yang jujur dan mana yang tidak jujur. B. Mazhab Sejarah Mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny. Mazhab ini merupakan reaksi terhadap para pemuja hukam alam atau hukum kodrat yang berpendapat bahwa hukum alam itu bersifat rasionalistis dan berlaku bagi segala bangsa, untuk semua tempat dan sejarah berpendapat bahwa tiap-tiap hukum itu ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu dan tempat. C. Teori Theokrasi Teori ini menganggap bahwa hukum itu kemauan Tuhan. Dasar kekuatan hukum dari teori ini adalah kepercayaan kepada Tuhan. D. Teori Kedaulatan Rakyat Perjanjian Masyarakat Pada zaman Renaissance timbul teori yang mengajarkan bahwa dasar hukum itu adalah “akal atau rasio“ manusia aliran Rasionalisme rakyat. Menurut aliran Rasionalisme ini bahwa Raja dan penguasa negara lainnya memperoleh kekuasaanya itu bukanlah dari Tuhan , tetapi dari rakyatnya. E. Teori Kedaulatan Negara Teori ini timbul pada abad 19 pada waktu memuncaknya ilmu pengetahuan alam. Teori ini menentang teori perjanjian masyarakat. Menurut teori ini 1. Hukum adalah kehendak negara. 2. Hukum ditaati orang karena negara menghendakinya. F. Teori kedaulatan hukum Teori ini merupakan penentang teori kedaulatan negara, teori ini berpendapat 1. Hukum berasal dari perasan hukum yang ada pada sebagian besar anggota masyarakat. 2. Hukum mewujudkan perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat. 3. Oleh karena itu hukum ditaati oleh anggota masyarakat. Kodifikasi dan Perkembangan hukum Pengertian Kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan Undang-Undang dalam materi yang sama. Tujuan kodifikasi hukum adalah agar didapat suatu rechtseenheid kesatuan hukum dan suatu rechts-zakerheid kepastian hukum. Aliran –aliran Hukum Sebagai akibat kemajuan dan perkembangan masyarakat maka timbullah aliran –aliran hukum sebagai berikut 1. Aliran Freie Rechtslehre. Ajaran ini timbul pada tahun 1840, karena Ajaran Legisme dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Aliran Legisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang dan di luar Undang-Undang- Undang-Undang tidak ada hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Menurut paham Freie Rechtslehre atau hukum bebas menyatakan bahwa hukum tumbuh didalam masyarakat dan diciptakan oleh masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam kodrat yang sudah merupakan tradisi sejak dahulu, baik yang Selanjutnya aliran Freie Rechtslehre berkembang menjadi dua aliran yaitu a. Aliran hukum bebas sosiologis, yang berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat dan berkembang secara sosiologis. b. Aliran hukum bebas natuurrechtelijk yang berpendapat bahwa hukum bebas adalah hukum alam. 2. Aliran Rechtsvinding Penemuan hukum Aliran ini bertolak belakang dengan aliran hukum bebas, kalu aliran hukum bebas bertolak pada hukum di luar Undang- Undang, maka aliran Rechtsvinding mempergunakan Undang-Undang dan Hukum di luar undang-undang. Dalam pemutusan perkara mula-mula hakim berpegang pada Undand-Undang dan apabila ia tidak menemukan hukumnya, maka ia harus menciptakan hukum sendiri dengan berbagai cara seperti mengadakan interpretasi penafsiran terhadap Undang- Undang dan melakukan konstruksi hukum apabila ada kekosongan hukum. Menurut aliran Rechtsvinding , hukum terbentuk dengan beberapa cara a. Karena Wetgeving pembentukan Undang-Undang b. Karena administrasi tata usaha negara c. Karena peradilan rechtsspraak atau peradilan d. Karena kebiasaan/ tradisi yang sudah mengikat masyarakat. e. Karena ilmu wetenschap 3. Aliran Legisme Aliran berpendapat bahwa a. Satu-satunya aliran hukum adalah Undang-Undang b. Di Luar Undang-Undang tidak ada hukum Dalam aliran Legisme ini hakim hanya didasarkan pada Undang – Undang saja. Aliran yang berlaku di Indonesia, Indonesia mempergunakan Rechtsvinding. Hal ini berarti bahwa hakim dalam memutuskan perkara berpegang pada Undang- Undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat. Apabila ada perkara , hakim melakukan tindakan sebagai berikut 1. Ia menempatkan perkara dalam proporsi yang sebenarnya. 2. Kemudian ia melihat pada Undang- Undang - Apabila UU menyebutnya, maka perkara diadili menurut Undang-Undang. - Apabila UU kurang jelas, ia mengadakan penafsiran. - Apabila ada ruangan-ruangan kosong, hakim mengadakan konstruksi hukum, rechtsverfijning atau argumentum a contrario. 3. Hakim juga melihat jurisprodensi,hk. Agama , adat yang berlaku. Cara Penafsiran Hukum • Obyektif 1. Penafsiran lepas dari pendapat pembuat Undang- Undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari. 2. Penafsiran Luas dan Sempit. Penafsiran secara luas adalah apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang seluas-luasnya. Penafsiran sempit adalah apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang sempit. Dilihat dari sumbernya penafsiran ada 3 yaitu otentik,ilmiah,hakim. Otentik Penafsiran yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang seperti dalam Undang-Undang tersebut. Ilmiah Penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan hasil karya para ahli. Hakim Penafsiran yang bersumber dari hakim atau peradilan yang hanya mengikat pihak bersangkutan yang berlaku bagi kasus-kasus tertentu. Metode Penafsiran • Penafsiran gramatikal / tata bahasa Penafsiran menurut bahasa atau kata-kata. • Penafsiran Historis Meneliti sejarah daripada Undang – Undang yang bersangkutan . • Penafsiran Sistematis Suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan yang lain. Dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan / pada perundang-undangan hukum yang lainnya atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan sehingga kita mengerti apa yang dimaksud. • Penafsiran Sosiologis Penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat agar penerapan hukum dapat sesuai dengan tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masyarakat. • Penafsiran Otentik Penafsiran secara resmi yang dilakukan oleh pembuat Undang- Undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dan tidak boleh oleh siapapun dan pihak manapun. • Penafsiran Perbandingan Suatu penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dan hukum positif yang berlaku saat ini. Antara hukum Nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial. Bentuk konstruksi Hukum Bentuk konstruksi hukum ada 3 yaitu Analogi, Penghalusan Hukum, Argumentum a Contrario. • Penafsiran Analogis sesuai dengan asas hukumnya. Sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan dianggap sesuai dengan peraturan tersebut. • Penghalusan Hukum Rechtsvertjining Memperlakukan hukum sedemikian rupa ,sehingga seolah –olah tidak ada pihak yang disalahkan. • Argumentum a Contrario Pengungkapan secara berlawanan, yaitu penafsiran Undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran. Artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam Undang-Undang. Penafsiran ini mempersempit perumusan hukum/ perundang- undangan lebih mempertegas kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan. Sumber – Sumber Hukum Sumber Hukum adalah Segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Macam-macam Sumber Hukum 1. Algra Sumber hukum dibagi dua macam yaitu formil dan materil. Sumber hukum materil tempat darimana materi hukum itu di ambil, faktor pembentukan hukum Sumber hukum formil Tempat/ sumber dariman suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan menyebabkan peraturan itu berlaku secara formal. 2. Van Apeldorn membedakan 4 macam sumber hukum Historis, Sosiologis, Filosofis, Dan Formil. • Historis Tempat menemukan hukumnya dalam sejarah. • Sosiologis Faktor –faktor yang menentukan isi hukum positif. • Filosofis 1. Sumber isi hukum ada 3 pandangan 1. Menurut Teoritis, Menurut Pandangan Kodrat, Mazhab Historis. 3. Sumber Kekuatan Mengikat hukum. • Formil Sumber hukum yang dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulakan hukum yang berlaku yang mengikat hakim dan penduduk. 4. Achmad Sanusi Hukum terbagi 2 kelompok yaitu Normal dan Abnormal Normal yang langsung atas pengakuan Undang –Undang Abnormal Proklamasi, Kudeta, Revolusi. Undang – Undang Undang –undang adalah Suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. Undang undang adalah produk daripada pembentukan Undang- Undang yang terdiri dari Presisen dan DPR. Sistem pembuatan Undang-Undang yaitu sistem umum dan sistem lengkap. Sistem Umum adalah sistem penyusunan daripada Undang-Undang dengan mengisi pokok-pokoknya saja. Sistem lengkap adalah Undand- Undang oleh pembuatnya diisi oleh pasal yang lengkap, terperinci, jelas dan lebih banyak mengarah ke hukum dalam bentuk kodifikasi. Undang- Undang dalam arti Formil dan Materil Dalam arti Formil Keputusan penguasa yang diberi nama Undang- Undang / UU yang dilihat dari segi bentuknya. Undang-Undangnya ini dibuat serta dikeluarkan oleh Badan Perundang-undangan yang berwenang dan dari segi bentuknya dapat disebut undang-undang. Dalam arti Materil • Penetapan yang diikuti penetapan kaidah hukum yang disebutkan dengan tegas. • Semua peraturan perundangan bersifat mengatur/ berlaku untuk umum. • Keputusan penguasa yang dilihat dari segi isi mempunyai kekuatan mengikat untuk umum. Hukum kebiasaan Kebiasaan adalah Tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, lazim, normal, /adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu. Kebiasaan juga dapat diartikan Suatu perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu masyarakat yang selalu dilakukan oleh orang lain sedemikian rupa sehingga masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian. Syarat timbulnya Kebiasaan 1. Syarat materil Adanya perbuatan tingkah laku, yang dilakukan berulang- ulang di dalam masyarakat tertentu. 2. Syarat Intelektual Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan. 3. Adanya akibat hukum bila hukum itu dilanggar. Hukum Kebiasaan adalah Himpunan kaidah-kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundand-undangan dalam kenyataannya ditaati juga. Karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat yang tidak termasuk hubungan badan-badan perundang-undangan. • Suatu perbuatan yang tetap dilakukan orang. • Keyakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah merupakan kewajiban. Kelemahan Hukum kebiasaan • Bahwa hukum kebiasaan mempunyai kelemahan yatu bersifat tidak tertulis oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara dan pada umumnya sukar menggantinya. • Tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan beracara karena bentuk kebiasaan mempunyai sifat beraneka ragam. Persamaan Undang- Undang dan Hukum Kebiasaan adalah 1. Kedua-duanya merupakan penegasan pandangan hukum yang terdapat dalam masyarakat. 2. Kedua-duanya perumusan kesadaran hukum suatu bangsa. Sedangkan Perbedaan Undang-Undang dan Hukum adalah 1. Undang –Undang keputusan pemerintah yang dibebankan kepada orang,subyek hukum. Sedangkan kebiasaan merupakan peraturan yang timbul dari pergaulan. 2. Undang-Undang lebih menjamin kepastian hukum daripada kebiasaan. Sedangkan kebiasaan hanya sebagai pelengkap.
The research is aimed to figure out whether the International Law is a genuine law. This concerns with why the international community is willing to obey the international law though it lacks of formal institutions that are in charge of empowering the law. This is a normative legal research. The data used in this research are the secondary data along with the secondary law material that is in the form of research result. Through this research, it can be concluded that the nature of coordinative relationship among international community - not having a supranational institution that has an authority in making and forcing the validity of certain international regulation at once to the citizens of nations that are breaking the international law – will not decrease the existence and the essence of the international law as a legal norm. The most major factor emerging the acceptance and the obedience of the international community towards its regulation is the awareness and the needs of all people towards which regulation that can offer the law and order, justice, and law enforcement that can be done and of which can not be done in the practice of the international law. The internally emerged obedience will offer a better result that the one emerged by the punishment. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the author.... Because in International Law there are three conditions that are fulfilled from the characteristics of a law according to Oppenheim, the three conditions are the existence of legal rules, the existence of an international community and the existence of guarantees of implementation from outside external power of these regulation. 8 And also according to Emer de Vattel, International Law is law in accordance with the nature of a country, because according to him, even though in International Law there is no supervision and court that is ready to apply the laws of International Law and the unclear rules of existing International Law rules and results. uncertainty in the application of law, does not affect the basic needs and suitability of a law, that is because countries that use international law are sovereign states and deal directly with each other, they only see them as people who have common interests because that is not state law. ... Fabian AkbarInternational law is the law that governs entity on an international scale. But is international law really law? because there are many opinions from legal experts that International Law is not Law but on the other hand there are also those who say that International Law is Law because it regulates certain international actions that are carried out around the world and has certain procedural and substantive rules to follow. The purpose of the article is to elaborate views on the issue and to put forward different legal arguments in the application of the international Marcos JosephNur ShivanaLayina ShaizaDifferences in the practice of binding international law in a sovereign state have different forms which are based on various theories of international law. As a result, each country has different perceptions even in terms of law enforcement. The study uses the library research method where the author refers to legal journals and certain books as well as the opinions of experts. However, in practice, the author prefers to refer to journals and books, because the sources from journals and books can be accounted for. The author also cites sources that have been mentioned through footnotes or footnotes. This study aims to analyze different legal practices in binding international law in Southeast Asian countries and their impact on law Brilian Agri Brilian Wiji SeksonoAbstrak ASEAN merupakan organisasi regional, dimana ASEAN berpangruh besar dalam proses penyelesaian masalah di Laut China Selatan dan upaya menjaga perdamaian kawasan didaerah ASEAN. Adapun hubungan antara hukum dan politik yang terjadi dalam penyelesaian sengketa ini. Kamampuan yang dimiliki ASEAN diharapkan bisa menjadi contoh bahwa organisasi internasional memiliki kewajiban dalam porses perdamaian dunia. Peran serta ASEAN menunjukan kemampuan suatu organisasi regional yang bisa menjalankan peran dan tugasnya terhadap sengketa baik dengan jalur diplomasi, tinjauan terhadap ketentuan hukum internasional yang berlaku dan tidak menggunakan cara kekuatan fisik militer dimana hal ini merupakan pelaksanaan dari 'ASEAN WAY". Permasalahan yang terjadi di Laut China Selatan tidaklah mudah diselesaikan dan sudah bertahun-tahun tidak menemui titik terang, dengan adanya pembahasan ini akan kita ketahui latar belakang terjadinya sengekta di Laut China Selatan dan bagaimana penyelesaiannya karena Laut China Selatan ini berada dicekungan lautan diantara China dan Negara ASEAN. Adanya perselisihan dan klaim secara sepihak dibeberapa negara menimbulkan ketidakpastian hukum dan kepemilikan dari Laut China Selatan. Permasalahan juga diakibakan pengembalikan kekuasan dari para penjajah kepada negara ASEAN membuat hukum wilayah negara yang belum jelas adanya dan belum diakui oleh dunia. ASEAN sebagai organisasi berpangruh diwilayah ini mencoba menyelesaikan masalah tanpa merugikan pihak-pihak terkait dan menjaga stabilitas perdamaian dunia. Walaupun demikian secara bergantian kepeimimnan di ASEAN belum bisa menyelesaikan sengekta ini, dan pada akhirnya Pengadilan Arbitase Internasonal memutuskan beberapa putusan sehingga untuk saat ini titik terang dari sengketa Laut China Selatan sudah ada. Upaya-upaya ini akan dihadapi oleh ASEAN sehingga dimasa yang akan datang permasalahan dan perebutan kekuasan di Laut China Selatan tidak akan pernah terjadi lagi, sebab sudah ada dasar hukum yang jelas. Kata Kunci ASEAN, Laut China Selatan, Sengketa I. PENDAHULUAN Laut China Selatan telah menjadi permasalahan ASEAN yang telah dihadapi dan berdampak pada keaman politik serta masalah hukum didalamnya. Sengketa Laut China Setalan terlah terjadi sebelum ASEAN berdiri, hal ini tidak lepas karena keadan laut yang sayang melipah dan kaya aka nisi didalamnya. China sendiri telah melebarkan Kawasan Afiyata Biqadrilla Nur AiniPerkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah meningkatkan intensitas hubungan antar negara di dunia. Hubungan antar negara yang ditandai dengan terbentuknya Kerjasama internasional Seiring dengan semakin banyaknya hubungan yang dilakukan antar negara dalam segala bidang, maka semakin meningkat pula urgensi untuk membentuk suatu tatanan hukum yang dapat mengikat hubungan antar negara. Sebuah system hukum yang mengatur hak dan kewajiban antar pihak yang diatur oleh sebuah hukum internasional 1. Hukum internasional sejak dulu memiliki peran penting untuk mengatur hubungan natar bangsa agar terjalin sebuah Kerjasama internasional yang baik. Setiap perjanjian Kerjasama yang dilakukan antar negara memuat kepentingan negara dalam melakukan hubungan Kerjasama untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Negara yang melakukan perjanjian internasional harus tetap menjunjung tinggi dan mentaati ketentuan yang dimuat dalam hukum internasional. Hukum internasional telah menyediakan suatu tatanan norma yang dijkadikan dasar hukum bagi perjanjian internasional yang dikenal sebagai Vienna Conventionon the Law of Treaties 1969 dikenal dengan Konvensi Wina 1969 1 Boer Mauna, Hukum Internasional, cetakan ke-4, Bandung, Alumni, 2005 hlmn 5Elisabet SuhardiStephanie LorenzaZulianto ChairulDi suatu negara, laut mempunyai beragam manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia. Mengingat pentingnya fungsi laut bagi suatu negara, dirumuskanlah aturan-aturan mengenai hukum laut internasional dan melahirkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut United Nations Convention on the Law of the Sea yang disingkat menjadi UNCLOS. Walaupun telah terdapat landasan hukum laut internasional, masih banyak terjadi sengketa antar-negara mengenai wilayah laut. Misalnya adalah sengketa klaim atas Laut China Selatan oleh China yang masih berlangsung sampai sekarang. Pada 10 Agustus 2018, pesawat pengintai P-8A Poseidon milik Amerika Serikat, terbang melintasi empat pulau buatan utama di Kepulauan Spratly yang berada di wilayah laut China selatan. Selama penerbangan tersebut, awak pesawat pengintai AS mendapat enam tembakan peringatan dari militer China, menyatakan bahwa mereka berada di wilayah China dan memerintahkan pesawat untuk pergi meninggalkan tempat itu. Walaupun pesawat Angkatan Laut Amerika Serikat memiliki kekebalan hukum untuk melakukan kegiatan militer yang sah di luar wilayah udara nasional negara pesisir Khalimatus Sa'diyahRia Tri VinataAnxiety against cybercrime has become the world’s attention, but not all countries in the world is giving greater attention to the problem of cybercrime by having the rule and unless the developed countries and some developing countries. The purpose of this research is in order to find, examine and analyze the efforts of the Indonesia Government in the protection of State secrets information and data, also to research the forms of Indonesia Government resistance against cyber war. Find a reconstruction of national cyber defense formation or cyber army in an attempt to defend the sovereignty of the country. In Act No. 3 of 2002 on State Defense, it has been established that the threat in the country’s defense system consists of a military threat and non-military threat, which is including cyber threats. One of the negative effects of the cyber world development via the internet among other things is a crime in violation of the law cybercrime, where when the escalation widely spread, it could have threatened the country’s sovereignty, territorial integrity or the safety of the nation. In an effort to combat against the attacks in this virtual world, will require an agency that is in charge of being the world’s bulwark cyber or cyber T GuzmanHow International Law Works presents a theory of international law, how it operates, and why it works. Though appeals to international law have grown ever more central to international disputes and international relations, there is no well-developed, comprehensive theory of how international law shapes policy outcomes. Filling a conspicuous gap in the literature on international law, Andrew T. Guzman builds a coherent theory from the ground up and applies it to the foundations of the international legal system. Using tools from across the social sciences Guzman deploys a rational choice methodology to explain how a legal system can succeed in the absence of coercive enforcement. He demonstrates how even rational and selfish states are motivated by concerns about reciprocal non-compliance, retaliation, and reputation to comply with their international legal commitments. Contradicting the conventional view of the subject among international legal scholars, Guzman argues that the primary sources of international commitment—formal treaties, customary international law, soft law, and even international norms—must be understood as various points on a spectrum of commitment rather than wholly distinct legal structures. Taking a rigorous and theoretically sound look at international law, How International Works provides an in-depth, thoroughgoing guide to the complexities of international law, offers guidance to those managing relations among nations, and helps us to understand when we can look to international law to resolve problems, and when we must accept that we live in an anarchic world in which some issues can be resolved only through Hongju KohWhy do nations obey international law? This remains among the most perplexing questions in international T. GuzmanThis Article examines international law from the perspective of compliance. It puts forward a theory of international law in which compliance comes about in a model of rational, self-interested states. International law can affect state behavior because states are concerned about the reputational and direct sanctions that follow its violation. The model allows us to consider international law in a new light. Most strikingly, one is forced to reconsider two of the most fundamental doctrinal points in the field-the definitions of customary international law “CIL” and of international law itself. A reputational model of compliance makes it clear that CIL affects the behavior of a state because other states believe that the first state has a commitment that it must honor. A failure to honor that commitment hurts a state's reputation because it signals that it is prepared to breach its obligations. This implies a definition that turns on the existence of an obligation in the eyes of other states rather than the conventional requirements of state practice and a sense of legal obligation felt by the breaching state. Classical definitions of international law look to two primary sources of law-treaties and CIL. A reputational theory, however, would label as international law any promise that materially alters state incentives. This includes agreements that fall short of the traditional definition, including what is often referred to as "soft law." The Article points out that there is no way to categorize treaties and CIL as "law" without also including soft law. Agreements such as ministerial accords or memoranda of understanding represent commitments by a state which, if breached, will have a reputational impact. For this reason, these soft-law agreements should be included in the definition of international law. The Article also calls for a refocusing of international-law scholarship. Because international law works through reputational and direct sanctions, we must recognize that these sanctions have limited force. As a result, international law is more likely to have an impact on events when the stakes are relatively modest. The implication is that many of the topics that receive the most attention in international law-the laws of war, territorial limits, arms agreements, and so on-are unlikely to be affected by international law. On the other hand, issues such as international economic matters, environmental issues, and so on, can more easily be affected by international law. This suggests that the international-law academy should focus greater attention on the latter subjects and less on the Filosofis terhadap Eksistensi Hukum InternasionalHarry PurwantoPurwanto, Harry, "Kajian Filosofis terhadap Eksistensi Hukum Internasional", dalam Mimbar Hukum, Majalah FH UGM, No 44/VI/ on International LawMartin DixonDixon, Martin, Texbook on International Law, Blackstone Press Limited, fourth edition, Internasional Dalam Perspektif Negara Berkembang, Penataran Singkat pengembangan bahan Ajar Hukum InternasionalHikmahanto JuwanaJuwana, Hikmahanto, Hukum Internasional Dalam Perspektif Negara Berkembang, Penataran Singkat pengembangan bahan Ajar Hukum Internasional, Bagian Hukum Internaisonal FH Undip, Semarang, 6-8 Juni Teori Hukum legal theory dan Teori Peradilan judicial prudence termasuk interpretasi undang-undang legisprudence, Vol IAhmad AliAli, Ahmad, Menguak Teori Hukum legal theory dan Teori Peradilan judicial prudence termasuk interpretasi undang-undang legisprudence, Vol I, Pemahaman Awal, Prenadamedia Group, Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan keduaSugeng IstantoHukum InternasionalIstanto, Sugeng, Hukum Internasional, Penerbitan Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan kedua, 1998.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Apabila masyarakat tidak memiliki kesadaran hukum, maka keadaan akan lebih mudah dalam menimbulkan suatu konflik dalam masyarakat, yang menimbulkan hal tersebut adalah masyarakat itu sendiri. Kenapa? Karena kurangnya kepatuhan dan kesadaran akan akan hukum semakin merosot, karena seringkali terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum. Salah satu yang dapat kita contohkan adalah tidak dimilikinya kesadaran dan kepatuhan hukum terhadap tata tertib dilalu lintas. Tata tertib dilalu lintas ini merupakan suatu perbuatan dalam menunjukkan kesadaran dan kepatuhan akan adanya hukum lalu lintas. Apa akibatnya jika kita tidak mematuhi hukum atau tata tertib yang ada di lalu lintas?Ya, betul. Kecelakaan, didalam Pasal 1 Angka 32 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah diterangkan bahwa, ketertiban lalu lintas ini merupakan suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap pengguna jalan. Untuk permasalahan ketertiban dalam berlalu lintas di jalan raya merupakan tanggung jawab bagi setiap pengguna jalan, bukan hanya pihak kepolisian saja tapi tanggung jawab bersama. Mengenai tentang masalah kesadaran dan kepatuhan ini memang sedikit sulit untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan patuh terhadap hukum. Menurut pandangan saya sendiri, masyarakat itu bukannya tidak memiliki kesadaran atau kepatuhan. Tetapi kebanyakan mereka merasa untuk apa kita harus taat kepada hukum?Untuk apa kita patuh terhadap hukum? Orang yang mengerti akan hukum saja justru melanggar hukum dengan senang hati. Hingga akhirnya, karena pemikira yang seperti itu yang membuat mereka tidak memiliki kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum. Tidak hanya itu, bahkan karena pemikiran seperti itu mereka seakan-akan tidak perduli akan hukum yang ada, hingga akhirnya timbullah tindakan-tindakan kriminalitas, yang kemudian membuat angka tingkat kriminalitas menjadi tinggi bukan hanya dalam kuantitas dan volumenya saja, tetapi juga dalam kualitas atau intensitas serta jenisnya. Muncul pertanyaan, untuk apa kesadaran akan hukum ini? Apakah dengan memiliki kesadaran terhadap hukum akan dapat mempengaruhi penegakkan hukum yang ada? Dampak yang muncul apabila masyarakat tidak memiliki suatu kesadaran dan kepatuhan hukum, yang menyebabkan terjadinya tidakan kriminal dimana-mana, tawuran dimana-mana, banyak tindakan asusila terhadap anak-anak dan wanita, hidup masyarakat akan menjadi kacau. Itu semua diakibatkan karena kurangnya kesadaran mayarakat akan hukum. Dari melihat hal seperti inilah maka diperlukannya untuk memiliki kesadaran dan kepatuhan hukum. Kesadaran hukum ini merupakan kesadaran dari diri sendiri tanpa paksaan, tekanan, maupun perintah dari luar untuk tunduk pada hukum yang ada. Dengan berjalannya kesadaran hukum dalam masyarakat, maka hukum tidak perlu mengeluarkan sanksi. Sanksi hanya akan dijatuhkan ketika seorang warga benar-benar terbukti melanggar hukum. Dengan kata lain, jika semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan terwujudnya suatu penegakkan hukum yang baik pula. Jika sebaliknya, semakin rendah akan tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum, maka kan semakin sukar pula pelaksanaan penegakkan hukum yang kesadaran hukum terhadap masyarakat bukanlah proses yang mudah, atau sekali jadi, tidak! Tidak begitu, melainkan memiliki rangkaian proses, tahap demi tahap. Seperti; a tahap pengetahuan hukum; b tahap pemahaman hukum; c tahap sikap hukum; d tahap pola prilaku hukum. Membina kesadaran hukum merupakan suatu tuntutan perubahan sosial yang sering kali menjadi perhatian pemerintah dan telah digalakkan dalam suatu usaha pembangunan. Sejak awal pemerintahan Orde Baru Orba, secara jelas dan sistematis dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR Nomor IV/MPR/1978 mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN dalam hal hukum, tertib hukum dan Penegakkan Hukum. Dalam Persoalan pembinaan hukum di Indonesia merupakan suatu masalah yang sangat krusial di tengah-tengah meningkatnya angka kriminalitas di setiap tahunnya. Misalnya, pada tahun 2017, jumlah tahanan dan narapidana di Indonesia yang berada di dalam rutan/lapas berjumlah orang. Sedang pada tahun 2020 akhir, terjadi peningkatan jumlah tahanan dan narapidana hingga mencapai orang. Tingkat kriminalitas yang menjadi salah satu acuan terhadap keberhasilan program pembinaan hukum ini dalam memberikan gambaran bahwa Indonesia membutuhkan pola-pola pembinaan yang sangat efektif, untuk mewujudkan kesadaran hukum bagi masyarakat Indonesia. Indonesia yang masih sangat rentan dengan pelanggaran hukum membutuhkan perhatian yang lebih untuk menciptakan masyarakat yang sadar hukum dan masyarakat yang tertib hukum. Karena pada dasarnya, kesuksesan dan keberhasilan dalam pembangunan hukum ditentukan oleh kualitas pembinaan dikatakan bahwa kesadaran hukum ini wajib dimiliki oleh setiap masyarakat dan warga negara. Tanpa adanya kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum, negara tidak akan memiliki penetapan hukum yang baik. Negara akan mengalami kekacauan. Jika kita sudah konsisten dalam membangun suatu Negara menjadi negara hukum, maka siapapun harus tunduk kepada hukum. Hukum tidak dapat diberlakukan secara diskriminatif, tidak memihak siapapun dan apapun, kecuali kepada kebenaran. Jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, maka hukum tidak akan dapat dipercaya lagi sebagai sarana dalam memperjuangkan hak dan keadilan. Oleh karena itu, agar hukum memiliki kesadaran dan kepatuhan hukum. Karena sesungguhnya, jika semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan terwujudnya suatu penegakkan hukum yang baik pula. Jika sebaliknya, semakin rendah akan tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum, maka kan semakin sukar pula pelaksanaan penegakkan hukum yang ApriliantiS20191024 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
ketaatan kita terhadap hukum semestinya